Sunday, June 05, 2005

Collector and Casual Work

Ada dua hal yang menarik perhatianku saat awal tiba di melbourne yaitu masalah sampah dan pekerjaan kasual. Pekerjaan kasual menjadi asyik untul dilirik karena itulah cara kami memperoleh tambahan biaya hidup. Hampir semua teman terutama yang memperoleh beasiswa dari pemerintah Australia berusaha berbagai cara untuk mendapatkan tambahan pundi-pundi tabungan. Jadi tidaklah aneh jika salah satu topic obrolan kami adalah masalah pekerjaan kasual seperti tukang cuci piring di restaurant, tukang buat roti, tukang bagi-bagi leaflet dan juga tukang buka tutup toko di Victoria market. Pekerjaan –pekerjaan itu tentu saja adalah pekerjaan yang “emoh” dikerjakan di Indonesia dan dilihat sebelah mata. Namun demi bayaran perjam sekitar 10 dollar Australia (Rp. 75,000), siapa takut ? Jika sebulan maksimum jam kerja yang diperkenankan sebagai mahasiswa adalah 20 jam, hitunglah berapa tabungan yang bertambah ?

KD tidak kalah bersaing dengan teman-temannya. Di bulan kedua masa studinya seorang teman mengajaknya menjadi tukang buka tutup toko di Victoria Market. Pekerjaannya adalah membuka toko jaket kulit di pagi hari dan merapikannya kembali di sore hari. Pekerjaan yang lumayan berat karena ia harus mendorong lemari, mengangkut dan menata seluruh jaket kulit di tiang gantungan. Demikian sebaliknya di sore hari. Untuk pekerjaan tersebut dia mendapat imbalan 35 dollar. ‘Waduh, kesampean juga neh jadi kuli pasar?’, katanya pendek.

Hal lain yang asyik diamati dari Melbourne adalah masalah sampah. Setiap rumah di wajibkan memisahkan sampah dalam tiga kategori, sampah kering, sampah basah sisa dapur dan sampah yang siap daur ulang (seperti karton, kaleng, botol dan kertas). Sepekan sekali petugas kebersihan kota mengangkut sampah-sampah tersebut. Melihat sampah yang siap di daur ulang itu serta merta saya mengingat pemulung di rumah tinggal saya di depok yang suka bikin kesal karena mengobrak-abrik tempat sampah di rumah untuk mencari sekedar karton maupun botol. Kebayang dalam pikiran saya betapa bahagianya pemulung-pemulung di Jakarta kalau ke Melbourne. Bisa pesta pora nih!

Kebiasaan lain orang melborne adalah meletakkan barang yang sudah tak terpakai namun masih layak di depan rumahnya. Siapa yang berminat boleh mengambilnya. Barang-barang yang di buang pun tidak tanggung-tanggung, heater, printer, monitor, sofa bahkan kasur kadang menghiasi pekarangan rumah orang.

Jika hal itu ada di Jakarta, barangkali barang bekas Cuma di lihat sebelah mata. Gengsi, dong. Tapi di melborne seolah-olah gengsi sudah terkubur dalam-dalam.

Suatu ketika pulang dari jumatan, suami saya bercerita dengan hebohnya. “Eh , ada orang buang sofa di jalan davies dekat rumah si Rini, ambil ah.’ Katanya. Rupanya dia berminat mengganti sofa di rumah yang sudah belel. Saya sih setuju asal memang masih bagus dan layak dipakai. Dan suami saya sangat meyakinkan kualitas sofa tersebut. Akhirnya disusunlah rencana pengangkutan sofa tersebut dengan bantuan teman-teman Indonesia. Waktu nya disepakati malam hari untuk mengurangi rasa malu yang masih tersisa. Sebagai ucapan terima kasih maka suami menugaskanku untuk membuat makan malam yang spesial untuk lidah mahasiswa Indonesia di perantauan.

Saat-saat yang dinantikan pun tiba, masakan siap dan tim kerja pun sudah tiba. Dengan semangat empat lima tim sofa pun berangkat. Lima belas menit kemudian, suami dan teman-temanpun pun kembali dengan tangan hampa. “Lho kenapa? Kan tadi masih ada?” tanyaku penuh ingin tahu dan heran mengingat pada siang hari suami sudah memastikan sofa masih ada di tempat tersebut. “Sofanya sih ada tapi bantalan sofanya udah nggak ada, payah banget tuh yang ngambil , masak cuma ambil bantalnya , emang kita mau rangkanya aja?”.

Esok paginya ketika kami berjalan menuju pasar. Tiba-tiba suamiku tersenyum kecut saat melihat sebuah mobil yang terparkir dekat rumah. “Nah, itu tuh bantalan sofa, ternyata diambil buat mobil.” . Waduh, masih kepikiran juga suamiku itu dengan sofa tercinta.

Kegagalan dan kekecewan itu tidak memupuskan animo terhadap barang bekas. Sepulang dari tugas menutup toko, dia berujar” Eh, tetangga sebelah buang panci Teflon. Masih bagus sih walau ada sedikit goresan. Lebih baguslah dari yang kita punya. Ntar malem aku ambil. Kamu kan butuh” katanya berpromosi. Jam sepuluh malam saat orang-orang sudah tertidur, suamiku keluar rumah untuk mengambil panci tetangga . Dan dia berhasil kali ini, dua buah panci Teflon ukuran besar ada ditangannya. Weleh weleh……..siang hari jadi kuli pasar, malam hari jadi pemulung…….opo tumon ?. Apa kata keluarga di Jakarta ?

Mitchell Street Melbourne April 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home