Saturday, October 15, 2005

Bapak & Ibu, when love is not about words

Sedikit nyempil dari rencana semula ngomongin bapak dan alia. Rasanya lebih asyik mengenangkan bapak dan ibu. Bagaimana kemudian aku belajar tentang mencintai orang yang kita cinta.

Ibu itu hobby banget berdandan. Perlengkapan make up komplit tersedia. Ikut kursus kecantikan kemana-mana. Buat apa sih ? Tiap sore ibu selalu berhias lengkap. Untuk menyambut Bapak, tentu saja. Pakaian, jangan ditanya. Daster yang bolong-bolong (nyaman katanya) cuma dipakai kalau Bapak tidak ada, jadilah beliau berpakaian bagus di hadapan bapak selalu. Sewaktu beliau sakit yang tidak memungkinkan kembali beliau berpakaian ngepas, sehingga daster adalah pakaian utama. Beliau pesan ke salah satu bulik yang pintar menjahit, daster-daster yang cantik yang suka bikin kami anak-anaknya ngiler abis. Dan beliau tetap cantik meski sakit menderanya.

Ibu itu pekerja keras. Meski di rumah ada pembantu namun tetap saja ia tak berpangku tangan. Walau ada mesin cuci pun, ia tetap mencuci pakaiannya sendiri dengan tangan terutama pakaian Bapak lebih khusus lagi pakaian dalam Bapak. Bapak tahu tentang hal ini. Ketika ibu dipanggil Gusti Allah,Bapak mencuci pakaiannya sendiri. Kami, anak-anaknya tidak diperkenankan untuk membantunya. Kalaupun kadang ada yang kami cucikan jika beliau berhalangan, namun tidak untuk pakaian dalamnya. Beliau ingin menghargai ibu, menghargai usaha yang penuh cinta untuk memberikan sentuhan terbaik di sisi-sisi yang paling pribadi.

Sejak ibu tiada, Bapak adalah pengunjung setia pemakaman kuningan di casablanca setiap jumat. Beliau "ngapel" ibu setiap jumat dengan tentu saja doa yang tak berkesudahan. Hampir tak pernah absen kecuali ke luar kota. Menyetir sendiri di paginya jakarta.

Melihat cinta mereka berdua. Apalah aku ini bagi suamiku tercinta ?

Thursday, October 06, 2005

Bapak dan alia kecil

Hubunganku dengan Bapak tak sedekat hubunganku dengan Ibu. Wajar, bukan? Kondisi keluarga secara umum telah membuatku dekat dengan ibu, aku anak perempuan, ibuku ibu rumah tangga. Ditambah pula kami orang jawa dimana peran bapak lebih ke masalah keuangan dan ideologis. Hubunganku yang tak dekat ini pernah disimpulkan dengan tepat oleh Pak Sukanto SA sewaktu mengomentari cerpenku di Annida bertahun2 lalu. Waktu itu aku bertutur tentang ibu, dan penuturanku tak ada sedikitpun tentang Bapak. Aku sempat tertegun, Apa iya , ya ?" Dan sejak itu aku selalu mencoba mengukur kedekatanku dengan beliau. Dan mencoba untuk lebih deket dengan menyibakkan sekat-sekat kekakuan psikologis yang ada.

Salah satu yang bisa melemaskan kekakuan itu adalah mengingat-ingat jasa beliau pada ku. Dan tulisan ini mudah-mudahan membuatku semakin bersyukur berayahkan beliau. Sekaligus buat obat rindu setelah beberapa saat tak bersua. Kali ini episode mengenang masa kecil.....kali lain episode alia gede.

Bapakku itu kurus dan tinggi. Kinipun semakin kurus dengan uban yang tak pernah ditutupi. Uban yang semakin lebat bukan karena beliau pensiun namun lebih karena ditinggal pergi ibu terlebih dahulu. Uban yang semoga menandakan keputihan hati dan jiwanya dan kepasrahan total kepada Sang Maha.

Bapak itu guru ngajiku yang utama. Sebenarnya beliau nggak pernah ngajarin aku membaca quran. Kami dipanggilkan guru ke rumah. Itu tak pernah berhenti. Di cilacap jaman TK dengan seorang bapak (lupa euy namanya, semoga allah balaskan keikhlasan beliau ya....), di jakarta seusia SD mulai dengan pak Muchlis dan bu Hamdani dan dengan mbak Rufiati di Solo sewaktu SMP. Bapak hanya jadi fasilitator dan supervisor. Kadang-kadang kami ngaji bareng seusai sholat magrib, di tes satu2 bacaan quran kami. Kami tidak bisa berkutik. Kalau sama guru ngaji kan suka pakai seribu satu alasan untuk ngeloyor pergi atau pake marah kalau di salahkan bacaan kami. Dengan Bapak ? nggak berani lah yau.........Jadilah kami membaca quaran dengan sebaik-baik apa yang kami bisa.

Waktu aku masih SD dan bacaan quranku belum lancar sekali, jika ada acara pengajian keluarga dengan membaca quran, Bapak memangku aku. Dibimbingnya aku membaca quran meski dengan terbata-bata.

Pelajaran yang berharga dari bapak soal mengaji ini adalah soal niat. suatu ketika aku mesti membaca Al quaran sebagai pembukan acara pengajian keluarga. Saking groginya karena takut salah aku membaca dengan beberapa kali salah dan suara yang tidak mantap. apa nasehat Bapak waktu itu ? "sebenarnya bacaan mu bagus cuma kamu takut-takut. Jangan takut salah, baca quran itu bukan untuk didengar orang tapi untuk Gusti allah. Biar Allah saja yang menilai."

Kalau sekarang ditanya orang, siapa yang mengajari Quran, maka tanpa mengecilkan mereka2 yang telah ikhlas mengajarkan alia yang bandel, jawabku adalah Bapak. Dan jika ditanya siapa sumber inspirasi belajar dan mengajarkan membaca, maka jawabnya adalah Bapak.

Ngomong-ngomong soal membaca Al Quran, sampai saat ini bapak memegang rekor khatam terbanyak tiap Ramadhan. Dulu waktu masih sibuk di kantor minimum dua kali khatam. Sekarang ? 4 kali adalah ekor minimum

Bapak itu guru renangku
Waktu SD, bapak memanggil guru renang untuk mengajarkan kami secara privat. Setiap pekan di kolam renang bojana tirta , beliau mengantar kami jam 7 dan menjemput jam 11. aktivitas ini tidak berhenti meski aku sudah pindah ke solo dan berhenti Les. Tiap ahad bapak mengantar kami berenang dari satu kolam renang ke kolam renang lainnya. Beliau memimpin sesi ini meski tanpa ikut menyebur. Mula-mula dengan pemanasan dan menutup dengan pendinginan. Kami harus menyelesaikan beberapa kali putaran sebelum diperbolehkan berhenti latihan. Kalau tidak dipenuhi, makan siang sate kambing dan tongseng di warung Pak Di Keprabon bakal jadi kenangan.
Kewajiban berenang ini cuma sampai aku lulus SMP. Setelah itu bapak nggak pernah ngajak kami berenang lagi. Setelah ku pikir2 barangkali karena saat itu aku menginjak usia remaja sehingga pakaian renang yang menampilakan aurat sudah tak pantas kami sandang.
.
Bapak dan kontes sapi
Namanya juga anak muda yang dicekoki majalah remaja dan gaya hidup metropolitan, ikutan kontes kecantikan semacam gadis sampul dan peraan busana pastilah jadi impian. Aku juga bermimpi demikian. Namun karena tahu Bapak nggak bakal marengke (bhs jawa= mengizinkan), maka kukubur dalam-dalam impian itu. Tapi tidak demikian dengan mbakyu ku. Mereka sangat antusias mendorongku untuk ikut kontes2 itu. Kalau aku ragu2, mereka meyakinkanku. Sampai suatu ketika, aku menyerah dengan bujuk rayu itu. Kejadian ini terjadi saat aku SMA di Solo dengan 2 kakak dan seorang adik sementara Bapak (termasuk ibu dan adik2 yang lain) tinggal di jakarta. Mbak ku mendaftarkan namaku di kontes Putra-putri Hammer di pura Mangkunegaran Solo. Aku minta syarat jangan sampai bapak tahu. Bisa duka (bhs jawa= marah) beliau. Semua berjalan mulus walau aku tidak menang. Malam harinya, Bapak telpon dari jakarta sesuai jadwal sepekan sekali. Beliau tanya "Gimana lombanya ?" Deg. kaget nggak bisa jawab. Kok bisa tahu ya ?. Aku jawab "Kalah, nggak menang." Lalu bapak berkomentar pendek "Sapi wae melu lomba iso menang kok." (Sapi aja ikut lomba bisa menang). Buat ku, komentar beliau ini sangat telak. Aku yang ikut-ikut kontes nggak ada bedanya sama sapi yang menjual tubuh. Kapok!

Bapak mengajarkan bersyukur
Aku suka udang. Dan cilacap, kota kecil itu memuaskan selera udangku. Suatu hari aku mogok nggak mau makan. Aku ngeyel minta udang ke ibu. Bapak duka. aku dibawa masuk ke kamar mandi dan dikunci. Namun setelah itu aku diajak ke pantai, beli udang yang gedhe-gedhe. Pelajaran buatku, apa yang ada di meja makan mesti disyukuri. Sekaligus sebuah penghargaan untuk yang cape-cape mempersiapkan.

Bicara soal makan-makan ini. Seingatku Bapak nggak pernah mencela masakan ibu. Kalau kurang asin, beliau langsung ke dapur mengambil garam dan menambahkan sendiri.

My first Ramadhan here

Akhirnya merasakan pula Ramadhan di negeri orang yang suara adzan terbatas. Rasanya jadi tambah kangen jakarta pada khususnya Indonesia pada umumnya. Kangen suasana dengan segala hiruk pikuknya. Dan yang pasti kangen dengan keluarga.

Alhamdulillah, Ramadhan kali ini di pertengahan Spring sehingga waktu berpuasa tak jauh berbeda dengan di indonesia. Shubuh jam 4.30 dan maghrib jam 6.30. Alhasil badan tak terlalu kaget. Meskipun nanti di penghujung ramadhan jam berbuka di kitaran jam 8 malam. Tidak terbayangkan berpuasa di waktu musim panas, bisa-bisa jam 9 baru berbuka. Ngomongin soal waktu puasa, barulah terasa nikmatnya berpuasa di negeri tercinta. Sepanjang tahun tak ada perbedaan waktu dan cuaca yang berarti.

Hari pertama puasa kali ini, aku berbuka di rumah Emmy karena bertepatan dengan acara ibu2 setiap Rabu. Bubur kacang jadi menu pembuka.......waduuuh enaknya. Meski ada yang kurang juga.....nggak ada acara kultum seperti di Indonesia.

Anyway, selamat berpuasa semoga puasa ini benar-benar membuat diri bertaqwa. Menjadikan dekat kepada Sang Khaliq, pemilik dunia dan seisinya. Amin